Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bedanya Perayaan Lebaran Jaman Dulu Dengan Jaman Sekarang

Jaman dulu yang aku bahas di sini adalah jaman tahun 90-an. Bukan jaman dulu ketika manusia masih berpakaian kulit, hidup dari goa ke goa dan Dinosaurus masih eksis di bumi. Bukan!

Sebenarnya lebaran di era 90-an, dengan lebaran jaman sekarang pada intinya masih sama, yaitu merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Tapi suasana lebaran dan cara merayakannya yang sudah sangat tidak sama. Setidaknya seperti itu yang kulihat dan kurasakan daerah-daerah di sekitarku.

Seperti apa bedanya? Kurang lebih seperti berikut ini.

Malam Takbiran

Jaman Dulu


Jaman dulu, malam takbiran dirayakan dengan keliling kampung jalan kaki berombongan. Jadi pada hari terakhir berpuasa, begitu selesai berbuka, anak-anak, remaja, pemuda-pemudi dan bapak-bapak, langsung bergegas menuju masjid di lingkungan masing-masing. Di sana kemudian mengkumandangkan takbiran sampai adzan Isya.

Setelah sholat Isya, semua segera mempersiapkan perlengkapan-perlengkapan untuk acara takbir keliling. Ada yang mempersiapkan peralatan pengeras suara, berupa aki, ampli, beberapa mic, speaker masjid, kemudian disusun dalam sebuah gerobak. Ada yang menyusun bedug masjid untuk tabuhan mengiringi gema takbir. Bukan hanya bedug, beberapa peserta takbiran juga menenteng kentongan dari batang bambu. Sementara yang lainnya mulai menghidupkan obor-obor yang juga terbuat dari bambu. Ada juga beberapa remaja yang mempersiapkan minyak tanah di dalam botol.

Setelah semua persiapan beres, maka langsung dimulai acara takbiran keliling kampung menyusuri jalan-jalan desa. Semua peserta benar-benar mengkumandangkan takbir dengan perasaan sukacita dan bahagia yang tak terlukiskan menyambut hari kemenangan. Diiringi tabuhan bedug dan kentongan dari batang bambu. Bercahayakan liukan api ratusan obor bambu para peserta takbiran. Di pagar-pagar kayu di setiap depan rumah warga, biasanya juga dipasangi deretan obor-obor kecil.

Nanti ketika berjumpa dengan iring-iringan rombongan takbir keliling dari masjid lain, remaja-remaja yang tadi membawa botolan minyak tanah, akan meminum minyak tanah tersebut. Tapi tidak sampai ditelan, cuma di dalam mulut, kemudian disemburkan di depan api obor, sehingga akan menghasilkan semburan api yang besar ke udara. Antraksi ini semacam gaya-gayaan di depan rombongan takbir keliling masjid lain. Rombongan dari masjid lain juga tidak akan tinggal diam, mereka juga akan unjuk kebolehan dengan cara yang sama.
 
takbiran keliling jaman dulu
 
Setelah mengelilingi kampung dan tiba kembali ke masjid, takbiran akan dilanjutkan di masjid sampai pagi. Sampai pagi! Entah, anak-anak dan remaja jaman dulu itu seperti tidak punya rasa lelah dan mengantuk. Padahal sebelumnya mereka sudah jalan kaki bertakbiran mengelilingi kampung. Tapi semangat mereka melanjutkan takbiran tak pernah hilang. Bahkan ada yang sampai rebutan mic, biar suara takbirnya muncul di speaker masjid dan terdengar oleh ayah ibunya di rumah.

Di halaman masjid, anak-anak yang lain asyik menghidupkan petasan purbakala. Mercon jaman dulu di kampung aku bentuknya berupa kayu seukuran pemukul kasti, yang di salah satu ujungnya dipasangi pentil sepeda dayung, dan sebuah potongan paku. Sementara bahan peledaknya adalah pentol korek api kayu. Bunyinya DOR! Kayaknya suara pistol inspektur Vijay.

Dan lantunan takbir akan terus berkumandang dan bersahut-sahutan dari masjid-masjid di se antero kampung sampai pagi. Takbir baru berhenti ketika sholat Ied.

Jaman Sekarang

Di kampung aku, takbiran berjalan kaki keliling kampung bercayahakan obor sudah beberapa tahun lalu punah. Berubah menjadi pawai akbar yang 20x lebih meriah. Bukan lagi keliling kampung, tapi takbiran keliling perkotaan. Juga tidak lagi berjalan kaki, tapi dengan sepeda motor pribadi atau mobil-mobil truk milik orang-orang di kampung.

Sehari sebelum malam takbiran, mobil-mobil yang akan ikut pawai takbiran sudah mulai diset secantik mungkin. Dibuka bak-nya, ada yang dihias mirip kubah masjid, ditempelin kertas warna-warni, dipasangi sound system, dan ada juga yang dipasangi bedug. Ketika tiba malam takbiran, beberapa di antaranya akan menaiki mobil itu, sementara yang lain dan lebih banyak membawa motor sendiri-sendiri. Setelah itu segera bergerak menuju ibu kota Kecamatan atau Kabupaten, bergabung dengan rombongan takbir dari kampung-kampung lain.

Begitulah pawai akbar takbiran keliling perkotaan. Suara takbir menggema dan bersahut-sahutan dari pengeras suara yang dipasang di mobil-mobil. Diiringi suara bising ratusan sepeda motor. Lalu apakah orang-orang yang pawai akbar menggunakan sepeda motor ikut mengkumandangkan takbir? WuAllahu 'alam. Apalagi kalau berboncengan sama pacar. Aku kok nggak yakin.

Kemeriahan pawai itu masih ditambahi dengan letusan-letusan kembang api berwarni-warni menghiasi langit. Malam Idul Fitri, sudah hampir mirip dengan perayaan malam tahun baru masehi.

Setelah capek mengikuti pawai akbar, para pesertanya akan membubarkan diri sendiri-sendiri. Ada yang ke toko baju mencari baju lebaran, padahal di rumah mungkin sudah ada dua pasang baju baru yang sudah dibeli kemarin. Ada yang langsung pulang ke rumah nonton TV. Maklum malam lebaran itu biasanya filmnya bagus-bagus. Biasanya ada film-film bioskop yang tayang perdana di TV.

Ada juga yang berkumpul-kumpul di suatu tempat. Biasanya ini orang-orang yang pulang merantau. Terkadang bukan cuma sekedar kumpul-kumpul temu kangen, tapi juga dibarengi dengan acara minum minuman keras. Memang tidak semua seperti ini, tapi ada oknum-oknum yang merayakan malam takbiran dengan cara begini. Ada banget!

Sementara yang kembali ke masjid untuk meneruskan takbiran jumlahnya paling sedikit. Malah ketika sudah tengah malam, hampir sudah tidak ada lagi orang yang bertakbiran. Masjid sepi. Tapi gema takbir terus berkumandang di speaker masjid, dilafadzkan dengan suara yang begitu merdu mirip di kaset. Benar, itu memang suara takbir dari VCD Player yang diputar masjid. Di era canggih ini, bahkan takbiran di masjid pun bisa diwakili sebuah kaset. Entahlah, ini sebuah kemajuan atau justru sebuah kemunduran.

Lebaran Pertama

Jaman Dulu

Setelah pulang dari menunaikan sholat Idul Fitri, hal pertama yang dilakukan adalah bersalam-salaman mohon maaf lahir batin kepada ayah dan ibu, kakek dan nenek, adik kakak dan seluruh sanak saudara. Setelah semua itu selesai, yang muda-muda akan keluar rumah, bergabung dengan geng lebaran yang hari sebelumnya sudah dibentuk.

Jaman dulu memang begitu. Dari pertengahan bahkan dari awal puasa, anak-anak, remaja dan para pemuda sudah membentuk geng sendiri-sendiri untuk teman berlebaran. Anggotanya antara 5 - 15 orang. Dipilih dari teman-teman akrab dan teman bermain sehari-hari. Di hari lebaran pertama, seluruh anggota geng akan bertemu di tempat yang telah disepakati. Lalu setelah terkumpul, mereka segera memulai berlebaran bersilaturahmi dari rumah ke rumah, semua rumah warga di seluruh desa akan didatangi, tidak ada yang terlewatkan!

Jaman Sekarang

Jaman Sekarang, begitu pulang sholat Ied, bahkan mungkin belum sempat bersalaman meminta maaf kepada orang tua dan sanak keluarga, kita sudah lebih dulu ber-Idul Fitri di sosial media. Di Facebook, Twitter, Instagram, DP BBM lebaran, Line, dan yang paling umum kirim SMS ke banyak nomor, isinya 'Seiring fajar di pagi yang Fitri, ketika tangan tak berjabat bla bla bla... Dari bla bla bla sekeluarga.' Mending kalau SMS kata-kata lebaran itu karya sendiri, seringnya SMS itu juga kiriman dari orang, terus dikirim ulang lagi ke orang-orang lain.

Setelah bermaaf-maafan dengan keluarga, kemudian yang punya pacar akan berlebaran bersama pacarnya. Yang jomblo-jomblo akan berlebaran bersama teman-temannya. Yang masih anak-anak berlebarannya bareng orang tuanya. Tidak ada lagi geng-geng lebaran bersilaturahmi dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki. Dan jaman sekarang, rumah-rumah yang didatangi juga kayaknya hanya rumah-rumah orang yang kenal dekat saja. Bahkan kadang, rumah tetangga sebelah saja tidak dikunjungi.

Kue Lebaran

Jaman Dulu

Jaman dulu, baru 2 minggu puasa saja, aroma lebarannya sudah mulai terasa. Aku masih ingat, di waktu-waktu tersebut, almarhum nenek sudah mulai mencicil membuat jajanan lebaran, menjemur rengginang dan kerurupuk-kerupuk, sehingga nanti ketika mendekati hari H tinggal menggorengnya saja.

5 hari menjelang hari kemenangan, kesibukan membuat kue lebaran semakin menjadi-jadi. Ibu-ibu dan remaja pustri sudah sibuk membuat rempeyek, kerupuk, rengginang, keripik pisang, keripik ketela, kuping gajah, antari, wajik, jadah, tape ketan dan macam-macam jajanan lainnya. Jaman dulu, jajanan yang disajikan di hari lebaran memang didominasi kue-kue hasil olahan sendiri. Sehingga walaupun nama jajannya sama, cita rasanya akan tetap berbeda pada tiap-tiap rumah. Kadang sampai hapal, di rumah-rumah siapa yang jenis-jenis kue tertentu yang rasanya paling enak.

Jaman dulu emang jarang jajanan beli, bahkan kaleng Khong Guan pun isinya rengginang. Kalaupun ada kue yang beli, paling-paling hanya roti bintang.
 
Kue lebaran jaman dulu


Jaman Sekarang.

Seminggu lagi lebaran saja banyak yang masih santai-santai. Tidak terlihat Ibu-ibu sibuk mempersiapkan jajanan hari raya. Kesibukan itu baru muncul ketika sudah 3 sampai 1 hari menjelang lebaran. Dan sibuknya itu bukan membuat kue, tapi beli kue kering di pasar ataupun supermarket. Sekarang setiap mendekati lebaran, bermacam-macam jenis jajanan lebaran banyak dijual dimana-mana dengan harga terjangkau. Sehingga kue lebaran yang disuguhkan di rumah-rumah, sebagian adalah kue-kue kering beli jadi. Bahkan ada yang 100% suguhan lebarannya seperti itu.

Tidak heran ketika lebaran sudah berakhir, kue lebarannya masih bersisa banyak. Karena hasil beli, bukan olahan sendiri, jadi banyak kesamaan kue lebaran antara rumah yang satu dengan rumah yang lain, sehingga pengunjung jadi kurang selera memakannya. Paling-paling sekedar mencicipi dan formalitas untuk menghormati tuan rumah.

Baju Lebaran

Jaman Dulu

Jaman dulu, busana lebaran itu sama seperti pakaian sehari-hari. Yang penting baru. Kalau laki-laki, celananya jeans cut bray merek tidak ternama, yang dicuci tiga kali saja sudah luntur warna aslinya. Dengan atasan kemeja kotak-kotak ataupun kaos Dagadu. Sandalnya New Era ataupun Carvil. Dulu saking tenarnya sandal New Era, sampai ada merek KW-nya New Eva.

Yang cewek-cewek juga sama kayak pakaian sehari-hari. Kemeja biasa, rok panjang, kadang juga celana jeans. Kalau pun ada yang mengenakan kerudung biasanya cuma kerundung selendang.

Kalau rezeki orang tua lagi bagus, bisa dibelikan satu celana, dua kemeja dan satu t-shirt, supaya selama lebaran bisa ganti-ganti atasan. Pada prinsipnya, kalau celana berhari-hari tidak ganti orang tidak akan ngeh. Tapi kalau baju, tiga hari masih memakai baju yang sama, pasti akan terlihat mencolok. Makanya untuk atasan dibelikan lebih dari satu. Itu kalau perekonomian keluarga sedang lancar, kalau lagi susah kayak masa krisis moneter 98, hanya dibelikan sebuah kemeja lengan pendek putih polos, yang setelah selesai lebaran sekaligus digunakan untuk seragam sekolah. Tinggal nempelin lambang SD di bagian kantong.

Jaman Sekarang

Kalau jaman sekarang, rakyat kampung pun busana lebarannya sudah bagus-bagus, mahal dan paling tidak beli dua pasang baju baru dalam tiap lebaran. Yang cowok-cowok memakai baju koko. Yang cewek-cewek tampil menawan dengan baju-baju muslim. Malah yang sehari-hari biasa memakai rok mini, ketika hari lebaran bisa berubah menjadi seorang hijaber nan modis.

Lebaran Kedua dan Ketiga

Jaman Dulu

Jaman dulu lebaran kedua dan ketiga masih sama ramainya. Karena sistem berlebarannya mengunjungi semua rumah satu persatu, jelas tidak akan rampung dalam waktu sehari, kegiatan itu dilanjutkan pada hari lebaran berikutnya. Dan di saat rumah di kampung sendiri sudah terkunjungi semua, akan dilanjutkan dengan berlebaran di kampung-kampung sebelah.

Jaman Sekarang

Lebaran hari kedua dan ketiga sudah terasa sepi. Lebaran kedua diisi dengan silaturahmi ke kenalan-kenalan yang rumahnya jauh, kadang antar Kota antar Kabupaten. Apalagi pada lebaran ketiga, tinggal sedikit orang yang merayakan lebaran bersilaturahmi dari rumah ke rumah. Kebanyakan lebih memilih merayakan lebaran di lokasi-lokasi wisata. Pantai, danau, kebun binatang, taman rekreasi dan lain-lain.

Lebaran Keempat dan Kelima

Jaman Dulu


Lebaran keempat dan kelima masih cukup ramai, walau memang sudah tak seramai lebaran hari-hari sebelumnya. Kalau lebaran hari pertama sampai ketiga diisi orang-orang muda mengunjungi rumah-rumah orang yang lebih tua, maka pada lebaran keempat dan kelima ini giliran orang yang tua-tua, bersilaturahmi ke rumah-rumah orang-orang yang sesama tua.

Sementara yang muda-muda berkumpul di lapangan atau pun di perempatan jalan desa, mengadakan acara kesenian rakyat dan juga lomba-lomba. Kompetisi balab karung, panjat pinang, sepak bola dangdut, lomba makan kerupuk dan banyak lagi.

Jaman Sekarang

Jaman sekarang lebaran keempat dan kelima sudah mirip hari biasa. Lebaran seperti sudah resmi ditutup. Orang-orang sudah kembali bekerja di kebun, yang petani sudah kembali turun ke sawah, yang mudik juga sudah mulai berangkat kembali ke kota.

Itulah Bedanya Perayaan Lebaran Jaman Dulu Dengan Jaman Sekarang
. Terus kalau disuruh berpendapat mana lebih baik antara perayaan lebaran jaman dulu dengan jaman sekarang, aku pribadi menilai lebaran jaman dulu masih lebih baik. Walaupun takbiran cuma dengan keliling kampung jalan kaki pakai obor, kue-kue lebarannnya cuma olahan sendiri, dengan baju lebaran ala kadarnya, tapi dalam merayakan lebaran perasaan bahagianya itu bahagia banget.

Bagi anak-anak kampung jaman dulu, tidak ada kebahagiaan lain selain kebahagian hari lebaran. Menunggu lebaran itu rasanya lamaaaa banget! Bahkan ketika orang tua beli kalender baru, yang dicek pertama itu kapan tanggal merah lebaran! Jaman kanak-kanak dulu, hari lebaran selalu berada di bulan-bulan akhir tahun. Beda sama sekarang, perasaan sebentar-sebentar sudah lebaran. Baju lebaran tahun lalu baru beberapa kali dipakai, eh tau-tau sekarang sudah mau lebaran lagi.

Demikian saja Bedanya Perayaan Lebaran Jaman Dulu Dengan Jaman Sekarang. Sekali lagi, ini hanya berdasarkan pengamatan di daerah sekitarku. Bisa jadi di daerah teman-teman masih merayakan lebaran seperti tempo doeloe.^^

10 komentar untuk "Bedanya Perayaan Lebaran Jaman Dulu Dengan Jaman Sekarang"

  1. jaman dulu tentu dan sangat pasti lebih indah dan lebih terasakan nikmatnya lebaran, sebab...kitanya masih muda atau bahkan masih kecil...pakebaju baru..sepatu baru di pake, padahal tebang mau kerumah tetangga doang...hehehe...indah nyah kan?

    BalasHapus
  2. guwa dong...walaupun dapet pertamax...tapi ngga ribut-ribut, segala di bilang-bilang...keren kan?

    BalasHapus
  3. artinya kita sudah tua yahh, kalo mengalami jaman itu :)

    kalo dikampung saya jg sudah nggak bisa ditemui perayaan spti jaman dulu, padahal seru banget

    BalasHapus
  4. zaman dulu pas takbiran di musola atau mesjid rame ada juga yang nganterin makanan sampai subuh tahun kemarin tetep rame takbiran di mesjid sampai subuh tapi setelah dilihatin sekalinya kaset. hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. tumben mang aduls komentarnya nyambung...biasanya kamana-mendi.

      Hapus
  5. waaa beneer bingidz, tulisannya lengkaap mantbaz, segala kenaa deh. eh itu kue imyuut banget "kue bintang" serasa sdh mewah, fav di rmh dulu, Terus ituh mlm takbiran boncengan sm pacar ..hihi exactly real.. tobaaaatlah sayah mah sekarang :)

    makasih mas, vote top jempol artikelnya ... nendaaang dah.

    BalasHapus
  6. Roti bintang, kalau dikampungku namanya roti benik, atau kancing baju. Yang dimakan paling cuma kembang gulanya saja :)
    Jaman sekarang lebarnnya pakai gadget. Praktis nan simple.

    BalasHapus
  7. Jadi rindu jaman dulu��

    BalasHapus