Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerpen Komedi Zuck dan Linn: Cerita Di Kala Hujan

Cerita ini sebenarnya sudah pernah aku tulis secara bersambung via status facebook di tahun 2012. Tapi dari pada mengendap dan tenggelam di dasar facebook, aku posting ulang di sini. Dan kayaknya nggak lama lagi juga bakal dicopas sama blogger yang ngakunya comic stand up, tapi isi blog-nya banyakan nyolong dari blog ini. Yang nama-nama Zuck Linn diganti entah apa gitu, huda nia entah kuda nil gitu lupa gue.

Novel Zuck Linn

Cerita yang tak seberapa ini juga pernah dibukukan dalam sebuah kumpulan cerpen. Tapi bukan aku yang membukukan. Ada yang minta izin, kubilang silahkan saja yang penting nama penulisnya dicantumkan. Itu aja. Aku nggak minta imbalan, nggak minta royalti, bahkan sekedar meminta bukunya juga enggak. Cuma dikirimin foto covernya doang.

Cerita Hujan

"Sayang kamu di mana?" suara Linn lewat telepon suatu malam sehabis magrib.

"Di rumah," gue jawab singkat.

"Jujur banget gitu sih jawabnya. Nggak asik, nggak romantis! Di hatimu gitu dong, Mas."

Apaan sih ini? Jujur malah disalahin. Apa memang begini semua cewek, lebih suka digombali dari pada enggak? "Iya Sayang. Aku di dalam hatimu, udah nggak bisa keluar nggak ada pintunya?"

"Keluarin di dalam aja, hehe."

"Ada apa nelepon?"

"Ke rumahku dong Mas sekarang. Bete nih sendiri.." katanya, renyah dan manja.

"Duh masa sekarang sih?" gue keberatan, soalnya malam ini gue mau nonton bola. Lagipula baru malam kemarin gue ngapelin dia. Dahsyat benar daya ngangenin gue?!

"Kenapa? Nggak mau ya? Nggak sayang sama aku? Cuma suruh datang aja susah. Yaudah kalau nggak mau!"

"Eh, eh bukan gitu," jawab gue buru-buru sebelum dia membanting hape-nya ke kasur. "Lihat dong di luar mendung..."

"Kenapa nggak disuruh masuk?!" suara Linn terdengar ketus. Ngambek.

"Plis deh, Beb. Mendungnya hitam banget, bentar lagi pasti hujan."

"Alasan! Namanya juga udah malam, yaiyalah mendungnya hitam. Lagian mendung bukan berarti hujan! Mana nih yang katanya demi aku badai kan dilalui, lautan disebrangi walaupun banyak hiu-nya. Gombal! Sama mendung aja jiper, sem....

"Yaudah aku datang!!!"

*****

Benar saja, dalam perjalanan hujan turun begitu deras. Gue basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. Kedinginan. Untung begitu nyampe tujuan, gue disambut senyum Linn yang begitu menghangatkan hingga ke relung-relung jiwa.

"Basah semua mas?" tanya Linn nggak penting banget.

"Yagitudeh."

"Kehujanan?"

"Enggak. Keringetan!" jawab gue sedapatnya.

"Tapi aku tetep cinta."

"Di tengah jalan tadi aku udah kena hujan tau nggak sih?!"

"Udah tau di tengah jalan kehujanan, kenapa nggak lewat pinggir? Udah gede kok nggak pinter-pinter.."

Gue diem. Punya pacar super cerdas emang harus rajin mengalah. Kalau nggak bakal panjang urusannya.

"Masuk deh, Mas. Kepasan di rumah lagi nggak ada orang. Papa and Mama pulang kampung menghadiri pesta ultah tahun nenek..."

"Serius sendirian?"

"Iya. Makanya aku butuh kehadiranmu..."

Hasek! Senyum nggak senonoh gue langsung tersungging di bibir gue. Kayaknya kepala gue juga mulai numbuh tanduk, kuping berubah jadi lancip serta gigi taring mulai memanjang. Grrr!

"Di rumah cuma aku sama Pak Boing...

Tanduk gue spontan protol. "Lhah katanya nggak ada orang? Pak Boing kan juga orang? Kamu pikir di setan?!"

"Iya sih Mas, tapi aku tetap butuh kamu. Pak Boing cuma penjaga kebun, sementara kamu penjaga hatiku, eeaa...

Gue mimisan 16 giga!

"Baju kamu basah semua. Ganti sama pakaianku ya, Mas?"

"Apaan sih?!" masa gue pake lingeria.

"Nggak apa-apa. Kan biar berasa dipeluk aku."

"Males. Pake punya orang tuamu aja, Beb," usul gue, secara Linn emang nggak punya sodara cowok kan. Dia anak tunggal dari empat bersaudara.

Dua menit kemudian. "Ini, Mas."

"Ini apa-apaan?!" mata gue melotot melihat gaun panjang putih mirip kostumnya kuntilanak yang diajukan Linn.

"Katanya mau pake punya orang tuaku? Ini punya mamaku.."

"Bunuh aku sekalian, beb! Bunuh!"

Muahaha. Linn ngakak. Dasar beha berhala! Suka banget kalau ngerjain gue. Akhirnya, yang gue pilih adalah celana kain dan kemeja batik punya ayah Linn, trus iseng-iseng gue tambahin aksesoris peci hitam dan kacamata minus. Hmm unyu-unyu... Mirip pak lurah mau ngecengin janda desa seberang pengkolan! Batin gue sambil ngaca.

"Keren Mas! Mirip bupati Garut! Hahaha.." Linn ngakakin penampilan gue.

"Ganteng berwibawa ya?"

"Bukaaan!"

"Trus?"

"Tua! Hahaha.."

"Jadi diundang ke sini buat dihina-hina terus gini?"

"Hahaha. Yaudah, aku buatin kopi susu ya, Mas?" tawar Linn kemudian.

Gue setuju saja. Cocok banget suasana dingin-dingin begini. Tapi sayangnya, sudah tujuh menit kopi susu tak kunjung tiba. Ilmu dapur Linn memang tidak meyakinkan. Gue kuatir jangan-jangan air yang direbusnya gosong. Atau jangan-jangan susunya harus meres dulu makanya lama? Ah entahlah..

27 menit kemudian.

"Ini, Mas..."

Sambil senyum malu-malu menggemaskan Linn menyuguhkan kopi buatannya, kemudian duduk di samping gue. Pokoknya udah mirip istri yang baik dan benar gitulah.

Selanjutnya sambil minum kopi segelas berdua, gue dan dia nonton TV. Gue pengen nonton derby manchester, dia maunya nonton derby romero. Nggak ada yang mau ngalah, saling pelotot-pelototan, tatap-tatapan, lama-lama akhirnya adu bibir eh, adu mulut, debat maksudnya!

"Lhoh? Tuan udah pulang?"

Suara seseorang tiba-tiba menghentikan perdebatan. Ternyata bener omongan orang, kalau lagi berdua-duaan sebenarnya ada pihak ketiga: setan! Iya benar itu setannya datang.

"Pak Boing? Ada apa, Pak?" Linn pasang tampang tak mengerti.

"Kamar saya bocor, Neng," lapor pak Boing.

"Mau ngambil ember buat nampung air bocorannya."

"Oh nanti tolong ditambal ya, Pak."

Pak Boing mengangguk.

"Ini Mas Zuck ya? Kirain tadi Tuan, bajunya mirip.." Pak Bo'ing menatap gue agak sinis, sepertinya dia nggak begitu suka gue ada di sini. Biarpun gue sering ke rumah Linn, tapi belum pernah kenalan sama Pak Boing.

"Iya, Pak."

"Rumahnya di sukajadi kan?"

Weh Pak Boing ternyata tau banyak tentang gue. Fans gelap nih jangan-jangan.

"Iya.."

"Yang rumahnya ada jendelanya itu kan?"

Gue melongo sebentar. "Iya, iya. Kok tau sih? Apa lagi yang Bapak tau tentang aku?"

"Kamu jelek!" tegas Boing sambil berlalu.

Linn ngakak. Kampret bosnia! Ngocol juga si Boing ini. Seperginya pak Boing, gue dan Linn kembali nonton tv, sambil menikmati kopi segelas berdua.

Linn emang baik dan pengertian, gue kedinginan dibikinin kopi, kamar Boing bocor dikasih charm bodi fit anti kerut anti bocor, bahkan AC yang kedinginanpun dia selimutin.

Lama-lama bukan TV yang kami tonton, justru tv-lah yang nonton kami, yang tengah asyik ketawa ketiwi ngobrolin hal-hal ringan, kayak: kapas, asap, awan, balon dan sejenisnya. Juga ngobrolin tentang si Manchester biru musuh bebuyutannya MU. Lalu beralih bahas tenda biru pernikahan, tentang indahnya laut biru, luasnya langit biru dan semakin nggak menentu bahas film biru segala. Lah.

Dan malampun semakin larut, seiring hujan yang mulai surut.

"Bentar-bentar liatin dinding, ada apa sih?"

"Liat jam, Sayang. Secara jamnya di dinding. Coba di kening, pasti aku liatnya ke wajahmu terus." jelas gue sekenanya.

"Hehe..."

"Haha hehe mulu sih. Tapi ngomong-ngomong, udah jam 11 nih, aku harus segera mengundurkan diri..

"Pulang maksudnya?!" suara Linn meninggi. Kelihatan banget kalau dia nggak rela.

"Iya pulang. Harus cepet tidur. Soalnya aku besok pagi-pagi banget harus terbit dari ufuk timur..."

"Weekk..." Linn ngeleletin lidah bikin gue gregetan, pengen rasanya gue gigit pake catutan kuku!

"Aku pulang, ya?" gue minta izin sekali lagi.

"Kalau pulang siapa yang nemenin aku? Mas tidur sini aja ya?" pinta Linn.

Nah ini yang gue takutin, sekaligus gue harepin juga. Nginep di rumah Linn, di saat keluarganya nggak ada gini, hem.. Sesuatu. Sisi sholeh gue berkata jangan, ntar terjadi hal-hal yang diinginkan. Sementara dari kubu setan mendukung abis, katanya kan seru nanti bisa main dokter-dokteran sama Linn. Cotlah!

"Pliss dong nginep di sini aja..." sambung Linn dengan wajah memohon, mirip kotak amal yang ngarep banget disedekahin ciuman.

"Tapi tidurnya di kamar kamu ya? Hehe..." gue iseng ngasih persyaratan.

"Iya boleh..

"Hahaha serius..." gue langsung ketawa mesum.

"Serius! Tapi aku tidur di kamar tamu..."

"Ha! Muehehek.." berubah ketawa asem!

"Selalu deh, dikit-dikit mesum, dikit-dikit mesum. Mesum kok dikit-dikit...

Muahahaha. Gue ngakak sampai ganteng.

"Dengar ya Mas, aku biarpun kalau ngomong suka ngaco tapi punya harga diri yang jelas!"

"Berapa? Biasanya akhir taun gini banyak diskonan, ehehe..

"Murah sih sebenarnya, cuma seperangkat alat sholat aja dibayar tunai. Sanggup? Kapan?"

Jleb! Gue terdiam seribu bahasa binatang, seakan terkutuk jadi patung pancoran.

"Gimana? Jadi kan nginep di sini?"

Gue noleh. Menatap Linn. Dia juga menatap gue sayu. Argh... Gue paling nggak kuat kalau udah ditatap model begitu. Bawaannya pengen mati aja di pelukannya.

"Aku nggak bisa, beb. Sorri.." tolak gue pelan, agak keberatan sebenarnya.

Tapi itu adalah keputusan penting. Gue begitu menyayangi Linn, gue harus menjaganya sampai nanti. Gue nggak ingin merenggut sesuatu yang belum waktunya. Itu tekad gue dari dulu. Andai gue nekad bermalam di sini, disuguhi kemolekan Linn, di rumah yang sepi, didukung cuaca yang begitu dingin, bisa-bisa prinsip gue teringkari malam ini. Makanya gue takut nginep!

"Kenapa nggak bisa?!"

Pertanyaan yang udah gue duga. Dan gue udah mempersiapkan jawabannya: "Besok kan aku harus masuk kerja ke kantor, itu juga demi membawamu ke kantor urusan agama suatu hari nanti..

Linn buang muka. Pengen senyum tapi ditahan. Lucu jadinya. Gue ngeliatnya jadi ketawa. Ngelihat gue ngakak, diapun ikut ngakak juga. Akhirnya gue dan dia tertawa bersamaan. Beberapa saat kemudian tawa kami selesai. Saling diam. Lalu saling pandang. Melihat wajah masing-masing. Tiba-tiba ngakak bareng lagi. Hahaha.. Gila!

"Yaudah sekarang aku balik dulu..."

"Ih kok beneran pulang sih?"

Lhah tadi udah ketawa-ketawi, kirain udah ga masalah gue nggak nginep.

"Aku mau Mas tetap di sini, setidaknya sampai besok pagi."

"Aku bukan nggak mau, tapi aku takut...

"Takut apa? Emang wajahku menakutkan? Kamu udah nggak kayak dulu lagi, Mas. Jangan-jangan tanpa sepengetahuanku kamu terjun ke dunia politik! Iya kan? Ngaku!" cerocos Linn.

Gue gelagapan. "Maksudmu aku ikutan caleg gitu? Nggak sempat Beb, mikirin kamu aja udah pusing tujuh trenggiling, apalagi mikirin rakyat! Kalau nyari alasan yang masuk akal dong..."

"Udahlah Mas. Buktinya sekarang kamu memang berubah?! Nggak kayak Zuck waktu pertama jadian. Pasti kamu ikut partai Nasdem! Gerakan perubahan! Yekan?!"

Duh wanitaku ini, kalau sudah punya keinginan, gigih bener memperjuangkannya.

"Aku takut nanti terjadi hal-hal yang nggak diingikan, Sayang..

"Owh gitu? Jadi kamu lebih takut terjadi hal-hal yang nggak diinginkan dari pada takut kehilanganku?! Yaudah pulang sana, nggak usah pikirin aku lagi, biarin saja kalau nanti aku diperkosa Boing!" Linn cemberut berat.

"Yowis aku nginep di sini! Ngeinep, nginep! Puas!"

******

Singkat cerita -sebenarnya nggak singkat kalau penulisnya nggak males nulis- gue akhirnya tidur di rumah Linn. Tapi jangan berprasangka baik gue tidur nenenin, ups, nemenin dia sekamar.

Gue di kamar tidur tamu, Linn di kamarnya sendiri.

Di luar hujan kembali menderas. Malam semakin dingin. Gue gelisah. Gue baca doa sebelum bobo. Pengen cepet-cepet tidur. Tapi dasar setan emang nggak pernah nyerah, udah gue doa-doain masih aja menggoda hati gue yang suci ini. Gue paksa memejam mata, tapi semakin gue merem, bayangan body Linn makin menari-nari.

Argh! Gue bangun! Ngaca sebentar. Setelah itu melangkah perlahan ke luar menuju kamar Linn. Lalu dengan gaya sopir truk di warung remang-remang pinggir jalan, gue ngetuk pintu kamarnya: "Neng, bukain dong pintunya, Abang sudah nggak tahan nih...

Astaghfirullah! Gue istighfar tiga kali! Untung itu tadi cuma ada di khayalan. Dada gue berdebar. Paha gue juga bergetar! Ini karena nada getar hape yang ada di saku celana gue. Ada yang nelpon. Linn!

"Halo Mas. Maaf ganggu bentar.." suara Linn.

"Nggak apa-apa kok. Aku belum tidur?"

"Kenapa?"

"Nggak tau. Dari tadi udah usaha tidur tapi nggak bisa-bisa."

"Payah Mas-nya. Masa nidurin diri sendiri aja nggak bisa, gimana nanti nidurin aku. Hahaha..."

"Nggak sopan!"

"Ha ha ha..."

"Kamu sendiri kenapa belum tidur?"

"Sama sih Mas, nggak bisa tidur juga...

"Sini, sini aku tidurin..

"Gak sopan Mas!"

"Haha Oh iya lupa."

Hening sebentar.

"Emm, Mas..." Linn ragu-ragu mau ngomong.

"Ada apa?"

"Mas tidurnya ditemenin boleh ya?"

"Apah?!" gue terkesiap, henpon nyaris terlepas dari genggaman.

"Aku ke kamarnya Mas sekarang.."

Belum sempat gue jawab, telepon diputus begitu saja. Wah ini gokil! Harus gimana gue? Mempersilahkan Linn tidur di sini jelas bisa memancing kerusuhan, sementara melarangnya juga bukan keputusan yang bijaksana. Menolak rezeki itu tidak baik katanya. Binun! Dilema! Bagai makan buah simalakama mentah!

"Mas. Buka pintunya..."

Linn sudah datang! Oke tenang, tenang. Katanya lelaki harus bisa mengambil keputusan di saat genting seperti ini. Ya sudahlah, mungkin ini sudah takdir gue harus melakukan dosa terindah.

Gue buka pintu. Terlihat wajah Linn yang tersenyum malu-malu mirip coro ketiban kulkas.

"Emm.. Bisa kan Mas ranjangnya untuk berdua?"

"Bisa, bisa.." jawab gue kesetanan.

"Muat kan?

"Muat dong. Percayalah, selalu tersedia ruang kosong, di hati juga tempat tidurku untuk kamu tempati.."

Tiba-tiba Pak Boing muncul! Apaan sih ih?! Kayaknya dia sengaja mata-matain gue deh, munculnya selalu di waktu yang tepat?

Linn menatap gue, seperti biasa ngasih senyuman, nggak pernah ngasih duit. Dan dia berkata: "Tadi Pak Boing SMS, katanya kamarnya makin parah bocornya. Kasihan kan Mas? Yaudah aku suruh aja tidur di kamar tamu, sekalian nemenin kamu, Mas. Muat kan?"

Njier!

Serial Komedi Zuck dan Linn Selengkapnya Dari Awal Kenalan Bisa Kalian Baca DI SINI!

17 komentar untuk "Cerpen Komedi Zuck dan Linn: Cerita Di Kala Hujan"

  1. wah mantaaap, ternyata hasil karya tulis Cerpen nya Mas Arizuna juga sudah di bukukan ya ? ...

    mimisan 16 giga ? ... berarti dapet satu meber mah yah itu.
    hahahaha, dijamin muat Mas, lha wong Kamar tamu bukan Kamar tidur :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Yang membukukan orang, Mas. Not me. :)

      Hapus
  2. dibukukan aja mas jukii. pasti aku beli deh, pasti
    aku penggemar setiamu yg selalu baca tulisanmu tp ga perna ngasih komen

    BalasHapus
    Balasan
    1. yeaahhhh ada penggemar gelap rupanya...kayaknya peran pak boing bisa ganti nih gan? heeee

      Hapus
    2. Lah ini udah komen, hehe. Wah udah pasti banget beli ya, Nurri. Kita lihat saja nanti, jika ada ide dan waktu coba nulis buku.. :)

      Hapus
  3. wakakakak :D udah seneng ditemenin sama linn, eh ternyata mas boing yang nemenin :D :D bukan rezekinya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu rejeki juga namanya ya...tapi tidak sesuai harapan..heee

      Hapus
    2. Haha terima kasih sudah membaca hingga selesai.. :)

      Hapus
  4. hahahaaa...ujung-ujungnya pak boing yang datang...bagus juga pas alur keluar pak boim lalunyambung lagi pada bagian belakang yang bikin geeerrrrr....sederhana tapi enak di baca dan menghibur gan....

    BalasHapus
  5. wakakakak :D lucu banget ceritanya mas... rezeki yang tidak sesuai harapan :D

    BalasHapus
  6. hahahaha.... sakit perut om baca endingnya.... berbakat... anda betul2 berbakat... ditunggu bukunya....

    BalasHapus
  7. keren artikelnya gan
    kunjungi juga ya artikel kami
    http://idrmonopolyindo.blogspot.com/
    Web kebanggaan poker online indonesia terpercaya dan teraman kami http://www.indomonopoly.com/

    BalasHapus