Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Catatan Si Tomboy

Catatan Si Tomboy


Jam istirahat Ine manfaatkan untuk berteleponan dengan Re, lelaki yang beberapa bulan ini sedang dekat dengannya. Asyik banget ngobrol sama Re, orangnya ngocol abis, bikin otak yang kepanasan akibat dua jam mempelajari rumus akuntansi jadi dingin kembali.

"Jangan lupa ya, Ne, ntar hari minggu?" kata Re di seberang, ketika pembicaraan mereka hampir berakhir.

"Iya, iya," jawab Ine seneng. Hari minggu besok Re mengajak Ine ke rumahnya, bantu mempersiapkan acara kenduri. Ine merasa tersanjung, meski Re belum jadi pacarnya, tapi Ine sudah jatuh cinta secara sepihak.

Kali aja dengan bantuannya nanti, hubungannya bisa semakin dekat, juga sekalian kenalan sama mamanya Re.

Bersamaan dengan berakhirnya acara telepon-teleponan, tiba-tiba Visi dan Maya yang merupakan sahabat Ine, muncul dengan muka mirip macan kelaparan.

"Genk kita mendapat pelecehan, Ne," lapor Visi.

"Pelecehan maksudnya?" tanya Ine.

"Lo tau Indri ketua klub tari itu kan? Dia ngata-ngatain kita cewek tomboy sebagai cewek mines tata krama, bejatnya setara playboy!" cerita Visi berapi-api.

"Bener dia ngomong begitu?" Ine langsung terpengaruh. Ia tersinggung berat!

"Bener! Malah katanya cewek tomboy kayak kita gini perlu dilenyapkan keberadaannya. Kurang ajar banget gak sih?" giliran Maya berprovakasi.

"Jelas kurang ajar! Makanya ayo kita hajar!"

Ine segera menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan tali sepatu, kemudian bergerak melabrak Indri yang tengah latihan tari Jaipong di gedung serbaguna.

"Woey! Maksud lo apa bilang cewek tomboy brengseknya sama dengan playboy?!" Ine to the point nyemprot!

Indri terkejut. Konsentrasi latihan tari langsung terganggu. Para penari pada menyingkir teratur melihat gelagat nggak bagus di tempat itu.

"Tolong kalian keluar. Jangan ganggu kegiatan kami," Indri menjawab sinis.

"Jangan mimpi gue akan pergi sebelum urusan kita beres. Gue pengen tau sehebat mana manusia yang berani lancang mengatakan kalau gue cewek minus tata krama!" sentak Ine tepat di hadapan Indri. Nafasnya yang kencang dan panas hampir membuat muka Indri melepuh.

"Terbukti kan? Datangnya kalian ke sini tanpa permisi, trus teriak-teriak kayak preman kelaparan, apa itu bertata krama? Itu makin menjelaskan kalau kalian memang krisis kesopanan. Nyadar dong, kita berada di lingkungan sekolah, bukan di terminal. Ini gedung serbaguna…

"Gue tau!! Ini gedung serbaguna. Bisa digunain untuk latihan nari, untuk seminar, festival dan juga pas banget digunain sebagai lahan pembantaian buat cewek sok hebat macam lo! Ayo lawan gue!" tantang Ine mendorong tubuh Indri hingga sedikit terhuyung.

"Ternyata lo cuma besar mulut doang!" giliran Maya yang berkoar.

"Sekarang juga lo harus minta maaf, itu juga kalau elo masih pengen nonton matahari terbit besok pagi!" ancam Visi ruarrr biasa menakutkan.

"Kalau saya nggak mau kalian mau apa?" balas Indri.

"Udah, gak usah banyak diplomasi. Langsung saja kita gebukin dia!" komando Ine sambil pasang kuda-kuda siap menyerang. Visi dan Maya juga ambil formasi pasang kuda-kuda beserta kandang-kandangnya.

Dan merasa berada posisi yang tidak seimbang, Indri siap-siap mengeluarkan jurus pamungkas sekaligus jurus andalannya, yaitu ajian MustiKa, Musti Kabur! Ciattt! Teriak Indri seakan mau menyerang, padahal lari sekencang-kencangnya kayak atlit marathon dikejar gerombolan zombie.

Trio macan lapar terkecoh, misuh-misuh dan buru-buru mengejar Indri. Tapi buruannya telah hilang entah ke mana.

"Gilak! Gesit banget tuh anak, 100 km/jam kali ya?" kata Visi, matanya menyapu semua kawasan sekolah, tapi sosok Indri tetap tak terlihat, lenyap bagai ditelan tsunami.

Bebarapa menit kemudian, lewat spiker sekolah terdengar pengumuman berita panggilan:

"Diberitahukan kepada Ine, Visi dan Maya, siswi kelas 2 R Sosial. Sesegera mungkin menghadap Bu Wely di ruangannya. Penting!"

Ketiganya saling pandang penuh tanda tanya.
"Ngapain Bu Wely nyariin kita?" tanya Maya. Kedua rekannya menggeleng pertanda tak tahu.

Dan sekali lagi panggilan itu mengudara, mendesak Ine cs secepatnya menemui Bu Wely.

"Perasaan gue gak enak, jangan-jangan kita mau diadili?" Visi berkata pelan tapi penuh kekuatiran.

"Emang kita salah apa?" Ine mencoba tenang, meski hatinya mulai gelisah. Pasti ada yang tidak beres, mustahil Bu Wely memanggil buat diberi voucher belanja.

Firasat mereka tidak meleset. Sampai di tempat yang di tuju, ketiganya langsung memperoleh omelan segar dari Bu Wely:

"Ibu pusing dengan tingkah kalian? Bukannya berpartisipasi, kalian justru menggangu kegiatan klub tari. Mau jadi apa sih kalian?!"

Rupanya Indri melaporkan terror trio tomboy terhadap kegiatan kurikulernya. Dan segala pembelaan Ine tak mendapat tanggapan positif dari Bu Wely.

"Ibu tidak mau tahu. Apapun alasannya kalian tetap salah. Ibu sudah tahu persis bagaimana sepak terjang kalian bertiga, terutama Ine. Sadarilah, kalian ini wanita seutuhnya. Wanita itu diciptakan dengan segala kelembutanya, dengan sifat keibuannya. Jadi tindakan kalian teriak-teriak dan nantang berkelahi itu sangat tidak pantas!"

Nasehat Bu Wely di kuping Ine terasa demikian menyiksa. Baginya itu teory jadul. Udah gak jamannya lagi perempuan kemampuannya cuma di sumur, di dapur dan di kasur, hare gene kaum cewek juga musti mampu bertempur! Hampir saja Ine mengeluarkan argumennya tersebut, namun ia sadar itu hanya akan membuat grafik kemarahan Bu Wely makin meninggi. Akhirnya Ine hanya diam seribu bahasa planet menerima ceramah Bu Wely sepanjang- panjangnya.

*****

"Indri harus bertanggungjawab dengan semua ini," tutur Ine sekeluarnya dari ruang sidang. Jari telunjuknya mengobok-obok lubang telinganya. 15 menit mendengar kata-kata bijak dari Bu Wely sungguh membuat kupingnya gatal.

"Baru aja kita diceramahi habis-habisan, lo udah kembali mau cari gara-gara?" protes Maya.

"Lo gak sakit hati ideology kita sebagai cewek mandiri dicemarkan orang? Hah? Pokoknya ntar pulang sekolah, Indri kita cegat, ajak dia nyelesain masalah ini di luar sekolah!"

*****

Visi dan Maya gak bisa mengelak keputusan Ine. Saat jam pulang mereka ikut melabrak Indri di depan gerbang sekolah.

"Mau apa lagi kalian?" Indri sedikit pucat, ketika ketiga mahluk tomboy itu menghentikan motornya. Persis pelanggar lalu-lintas yang di stop polisi di jalanan.

"Jangan pura-pura oneng deh lo. Lo kira dengan ngelapor ke Bu Wely, masalah akan selesai? Makin empet tau gak gue ngeliat muka lo!" seru Ine.

Indri deg-degan melihat raut wajah Ine yang emang gak ada beda sama harimau melihat tengkuk rusa. Melawan? Jelas pilihan konyol. Kabur? Nggak mungkin. Minta maaf? Mualess!

"Kenapa lo diam?! Minta maaf dan menarik ucapan lo? Atau terpaksa gue dan teman-teman gue pake cara kekerasan?!"

Indri makin tipis nyalinya, tapi berusaha memeras otak mencari jalan selamat.

"Gini deh, kalau kita nyelesain masalah secara betina sekarang juga, ini jelas tidak adil. Saya sendirian, sementara kalian bertiga. Stamina saya juga sudah ngedrop buat ngelatih tari. Biar adil, ntar jam empat kalian saya tunggu kalian di lapangan Garuda. Gak usah tanggung-tangung, di sana kita bikin perang besar-besaran. Duel hidup mati sesuka kalian!" tawar Indri.

Ine berpikir sebentar. "Gue pegang omongan lo! Sempet lo ingkar sama tawaran lo sendiri, lo akan menanggung akibat yang akan lo sesali seumur hidup. Catat!!!"

*****

Selanjutnya: Akhir Catatan Si Tomboy

3 komentar untuk "Catatan Si Tomboy"

  1. Balasan
    1. Udah ada tuh, Hehe. Maaf baru sempat nulis sambungannya. Terima kasih sudah membaca, Vhitry. :)

      Hapus