Gue Gak Mau Terkutuk
Hari ini, gue udah memiliki banyak hal yang dulunya untuk sekedar gue mimpiin aja gue gak berani: rumah besar berperabot serba lux, dua buah mobil mewah, sebuah motor gede merek ternama, dan seorang pacar cantik dari kalangan selebriti bernama Nafa.
Lima tahun lalu nasib gue masih belum pasti. Gue punya Ibu yang udah menjanda dan miskin. Pekerjaan Ibu tidak tetap, buruh nyuci, buruh tandur, buruh matun, dan apa pun pekerjaan ditawarkan asalkan halal, Ibu akan terima walau kadang dengan upah yang tak seberapa pantas dibanggakan. Kagumnya gue, beliau mampu nyekolahin gue hingga SMA. Tapi saat gue minta kuliah, Ibu angkat tangan sambil ngibarin kerudung putih! Ibu nyerah! Gak kuasa menghadapi biaya kuliah yang kian tak terjangkau itu.
Saat itu pekerjaan tetap gue sehari-hari adalah pengangguran, sementara keluyuran menjadi pekerjaan sampingan. Mau kerja bantu Ibu terjun ke sawah menjadi buruh tani misalnya, gue terlalu gengsi sama lembaran ijazah SMA gue yang di dalamnya terpampang nilai pas-pasan standar kelulusan itu. Padahal aslinya gue udah empet banget sama yang namanya KE-MIS-KI-NAN! Gue pengen kaya! Dan kalau bisa secepatnya kondisi itu terjadi pada kehidupan gue.
Suatu siang iseng-iseng berhadiah gue curhat pada sesepuh desa, dan dari beliau gue dapet beberapa tips praktis mencapai kekayaan.
"Anak muda, kaya dengan cepat itu sebenarnya mudah saja. Setidaknya ada tujuh cara. Pertama dapat warisan. Dua jadi penjahat besar. Ketiga korupsi. Empat menemukan harta karun. Lima mencari pesugihan. Yang keenam memenangkan undian dan terakhir menikahi anak orang kaya..."
Gobloknya, nasehat itu berhasil juga mempengaruhi pola pikir gue! Untuk yang pertama, jelas bohong banget kalau gue bisa kaya karena warisan. Malah gue ketar-ketir nantinya Ibu justru ninggalin warisan hutang.
Sementara menjadi penjahat besar apalagi berskala internasional, ini lebih mustahil. Walau tampang gue sangat mendukung, tapi jangankan jadi perampok bank, bajak laut, bandar narkoba atau pembunuh bayaran, sekedar nyolong mangga tetangga aja gue gak punya nyali! Sumpah! Nekat menjalankan tips kedua ini, bukannya kaya, malah dapat dipastikan gue langsung tertangkap aparat di aksi gue yang perdana!
Yang ketiga, kaya karena korupsi. Ini sih gue mau banget! Lha wong kalau ketahuan juga gak bakal digebukin massal kayak maling ayam di kampung-kampung! Justru waktu sidang para koruptor keparat itu bisa tetep senyum-senyum dan berdandan keren kayak aktor! Kalaupun di penjara paling cuma berapa tahun, udah gitu dapat remisi-remisi lagi. Mau banget gue, tapi kan untuk jadi koruptor harus jadi pejabat dulu?
Kalau pasal mendapat harta karun itu mungkin saja. Tapi di sini faktor keberuntungan paling berperan. Tapi gue sempet mencobanya. Saat jalan mata gue senantiasa jelalatan siapa tau nemu harta karun yang tercecer di jalan. Gue juga jajal gali-gali tanah belakang rumah, berharap menemukan harta karun yang terpendam kayak kisah Tom dan Huck dalam novel Petualangan Tom Sawyer. Jelas aja nihil!
Gue juga sempet kepikiran mencari pesugihan alias mencari kekayaan dengan bantuan syaiton nirojim, jadi kambing ngepet atau mengabdopsi tuyul! Tapi gue cancel niat itu, selain dosa besar, biasanya mahluk gaib yang membantu mengeruk harta meminta tumbal aneh-aneh!
Gue lebih naksir dua tips terakhir: menangin undian atau menikahi anak orang kaya. Gobloknya lagi gue bener-bener mempraktekan itu. Tiap nonton TV tetangga sebelah, gue giat mencatat produk iklan-iklan yang nyediain undian mobil atau duit jutaan. Mulai dari produk deterjen, permen karet, salep cap kuku kaki tiga, snack kripik jengkol hingga pupuk NPK. Tapi hadiah terbagus yang pernah gue menangin cuma sehelai kaos tipis gak berharga! Modal aja gak balik!
Lebih gobloknya, gue sampai tega melego baju celana gue demi ikutan pasang togel! Jika tembus yang empat angka, maka jadi jutawan muda bukan lagi isapan jempol. Tapi hingga baju celana tinggal yang gak laku, nomor yang gue pasang gak pernah tembus. Kemiskinan gue pun semakin sempurna!
Dalam hal mengawini anak orang kaya gue juga gatot alias gagal total. Dua cewek tertajir di kampung menolak pedekate gue secara sadis! Tapi wajar mereka nolak, gue miskin dan tampang gue... Huff! Sebenarnya bagian ini gak pengen gue ceritain, tapi mau gue tutupin sepintar apapun lama-lama pasti terkuak juga.
Jujur aja gue jelek! Sangat jelek malah. Kejelekan gue gak kayak siapa-siapa. Yah, mungkin lebih mirip sosok yang ada di uang kertas 500 jaman dulu. Begitulah!
*****
"Sesuatu yang didapat dengan mudah, akan mudah pula habis untuk hal-hal tidak berguna. Tapi kalau kita peroleh dengan kerja keras dan kucuran keringat, akan sangat bahagia kita menikmatinya. Seperti Ibu, yang begitu bahagia bisa menyekolahkanmu hingga SMA, walau dengan penuh perjuangan, Pri." Nasehat Ibu melihat gue patah arang gara-gara berbagai usaha gue menjadi 'orang kaya baru' gagal!
Betul juga, kerja keras adalah hal yang lebih masuk akal ketimbang nungguin warisan atau harta karun! Tapi dengan upah harian di dunia kerja persawahan yang cuma Rp. 25.000, yang belum tentu saban hari ada, sekeras apapun gue kerja sampai banting tulang putus otot, prediksi gue sampai 20 tahun mendatang gue akan tetap gini-gina aja!
Puncaknya, suatu petang gue minta restu sekalian minta duit pada Ibu. Gue ingin mengadu nasib ke Ibukota. Awalnya Ibu melarang, gue anak semanta wayang dan seumur hidup gue, beliau gak pernah berpisah jauh sama gue. Tapi akhirnya Ibu merestui setelah gue beri penjelasan over pede.
"Bu, saya pergi tak akan lama. Di Jakarta saya akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, setelah itu pulang. Membangun rumah ini, membuka warung dan ibu tidak perlu bekerja jadi kuli lagi."
Lalu, sambil menangis Ibu memeluk gue cukup lama, seolah kami gak akan bertemu lagi.
*****
Selepas isya gue tiba di Jakarta. Dan gue langsung menuju rumah Lek Kerno, adik Ibu yang udah lama menetap di Jakarta. Sementara gue mau numpang di sana dulu sampai dapat kerja.
Tapi ternyata sambutan paman gak enak banget! Padahal udah lama gak berjumpa, bukannya di elu-elukan: "Elu Supri, elu Supri, apa kabar? Lama gak ketemu makin jelek aja elu!"
Justru: "Bisa apa kamu?! Kamu tau gak sih di Jakarta ini susah cari kerja?!"
Kemudian paman buru-buru keluar. Gue kira ke warung beli makanan. Saat itu gue emang lagi lelah dan laper. Ongkos pas-pasan membuat gue gak bisa beli makanan sepanjang perjalanan.
"Itu dia, Pak, pendatang barunya. Dia harus diperiksa KTP, jangan-jangan terlibat jaringan teroris!"
Phuiih..! Ternyata Paman justru datang bareng beberapa orang berseragam kamtibmas. Razia KTP! Tentu saja gue takut karena gue belum punya KTP. Tapi sebelum petugas sukses menginterogasi, gue udah duluan kabur lari tunggang langgang kayak dikejar pasukan setan!
Saat itu gue merasa orang nomor satu paling nelangsa se-Asia, sendiri tanpa satupun peduli dengan cacing penghuni perut gue yang semakin hebat berdemonstrasi menuntut pemasukan barang sesuap nasi! Padahal di sekeliling gue, mobil-mobil mewah punya manusia-manusia beruang berseliweran hingga bikin macet! Mau ngemis gak pede, nyopet gak berani, malak apalagi.
Akhirnya gue terdampar di bawah naungan sebuah jembatan, tergeletak lelah dan kelaparan.
*****
"Woey! Bangun!"
Gue membuka mata, saat seseorang mengguncang-guncang tubuh gue dengan kakinya yang bersepatu. Di sekitar jembatan sudah banyak orang dengan berbagai peralatan canggih. Ah persetan! Badan gue masih lemah banget. Dan gue pun mejamin mata lagi.
"Bos! Ada orang gila gak mau pergi ini."
"Ya Allah, Din! Ini orang gila atau genderuwo kesiangan? Ancur banget!"
"Mungkin hantu yang telat balik ke asalnya, Bos!"
"Din, ambil makanan buat orang ini. Kasihan masih muda udah gila."
Walau dihina dina, semangat hidup gue spontan timbul mendengar kata-kata makanan.
"Sekarang adik tolong pergi, tempat ini mau dipakai syuting film," kata orang itu memberikan nasi kotak untuk gue.
"Baik, Pak. Terima kasih makanannya. Bapak baik sekali. Sekali lagi terima kasih," ucap gue terharu.
"Kamu bukan orang gila?" tanya orang itu dan gue jawab dengan menggelengkan kepala.
"Din, anak ini kalau dimandiin masih bisa dipake nih!" orang itu berkata pada orang yang satunya.
Gak tau deh itu pujian atau hinaan. Yang jelas itulah awal mula kesuksesan gue. Jembatan itu akan jadi lokasi syuting film komedi horror 'Si Bengis Jembatan Ambrol!' Dan sang sutradara begitu terpesona dengan kejelekan gue. Katanya muka gue gak perlu dimake-up sebegitu rupa sudah bisa memberikan efek hantu yang alami.
Akhirnya gue dilibatin penuh dalam produksi film itu. Gak tanggung-tanggung, gue langsung dapat peran utama sebagai si Hantu Bengis. Dan karena nama Supri kurang komersial, nama gue diubah menjadi Emen Sahara! Nama seleb gue!
Semenjak membintangi film itu, gue jadi terkenal dan kebanjiran job. Dari acara banyolan di TV sampai bintang iklan kaos kaki tapi yang terlihat hanya kaki. Benar kata orang, kalau pengen sukses di dunia entertainment, kalau gak ganteng sekalian, ya jelek sekalian yang gak ketulungan! Kalau tampang cuma pas-pasan gak janji deh!
Publik gak tahu kalau sebenarnya gue masih punya nyokap di daerah sana. Saat ini gue sendiri gak tahu apakah Ibu masih ada atau sudah tiada. Gue gak pernah memberi kabar apalagi uang. Gue sengaja mencampakan masa lalu gue. Gue benci suasana kampung dengan aroma kemiskinannya itu.
Berawal dari kejadian beberapa tahun lalu saat gue shopping di mall.
"Supri!"
Pertamanya gue langsung terkesiap ada orang yang tahu nama katrok gue, lalu dendam gue muncul saat gue tahu orang yang memanggil gue itu ternyata lek Kerno, paman gue yang dulu mengusir gue itu.
"Pri, Ibumu sakit memikirkan kamu."
"Heh! Lo siapa ya?" bentak gue tak peduli.
"Paman tahu kamu sekarang udah jadi bintang pilem, tapi Ibumu....
"Pak satpam!" teriak gue menyerobot omongan lek Kerno. "Amankan orang ini, dia mengganggu saya!"
Dan perintah orang terkenal kayak gue ini langsung dilaksanakan beberapa sekuriti plaza.
"Emen Sahara, benarkah yang dikatakan orang itu tadi?"
Gak nyangka, sejak tadi beberapa kamera menyorot gue. Inilah resiko orbek, kehidupannya selalu menarik perhatian dan sering dikuntit infotainment. Dan tindakan gue membentak lek Kerno tadi jelas akan melariskan tayangan atau tabloid gossip minggu ini.
"Ini pasti fitnahan orang yang gak suka dengan karir gue yang terus meroket," bela gue di depan teman-teman wartawan.
"Lalu sebenarnya ortu anda itu siapa? Kenapa selalu menutupi asal-usul anda?"
Gue menarik nafas panjang. "Kalian tau tsunami Aceh 2004? Bencana itu sangat dahyat! Kalian gak merasakan bagaimana sebuah kota hancur! Kedua orang tua gue hilang. Gue ke Jakarta karena di sana gue gak punya siapa-siapa, gue ingin mencari kehidupan baru. Lalu salah, kalo gue sekuat tenaga menyembunyikan masa lalu gue?" sebagai aktor, tentu saja gue katakan itu dengan mimik meyakinkan kayak sedang berakting dalam sinetron picisan.
Para wartawan percaya saja. Padahal Aceh itu kayak gimana gue juga belum tau.
*****
"Sayang, udah siap2 belom? Sudah mau jam 2 nih..."
Sebuah pesan whatsapp dari Nafa langsung membuyarkan lamunan panjang gue. Jam dua nanti gue harus terbang ke ibukota propinsi kelahiran gue, mengisi acara promo produk pakan burung di sebuah mall. Tadinya gue mau nolak, takut ketemu orang-orang sekampung gue, tapi gue udah terlanjur teken kontrak. Lagian setelah gue pikir ulang, jarak antara kampung gue dan ibukota propinsi jauhnya minta ampun. Sudah begitu harus melewati jalan berliku, terjal, berlobang, dan banyak bajing loncatnya. Jadi gak mungkin ada orang dari sana nonton acara gue.
*****
Atrium sebuah mall tempat gue dan Nafa show begitu membludak penontonnya. Meluber hingga ke bibir panggung neriakin nama gue. Banyak juga yang mengarahkan kamera HP mengabadikan kejelekan gue.
"Pri, Supri anakku, kemarilah Ibu sangat kangen kamu, nak..."
Tiba-tiba muncul sosok perempuan tua melangkah tertatih-tatih, berpakaian kumal dan dengan wajah yang amat lusuh. Kontras sekali dengan suasana mall yang serba mentereng ini.
"Siapa dia, Sayang?" bisik Nafa.
"Gak tau...." sahut gue mengangkat bahu, menyembunyikan perasaan gue yang mendadak luar biasa gelisah. Rasanya ada sesuatu yang menyentak-nyentak hebat dalam dada gue melihat wajah bersahaja perempuan itu. Ibu...
"Kenapa tidak pernah pulang, Pri?" wanita itu terisak sambil menatap gue tanpa berkedip.
Nafa memandang perempuan itu lekat-lekat, kemudian beralih menatap gue cukup lama. "Tapi wajahnya mirip banget sama kamu, Sayang?"
"Ah masa sih?" kata gue sedikit kelabakan. "Mungkin karena kemiripan itu dia memanfaatkan untuk ngaku-ngaku sebagai mama gue. Jangan-jangan ini kerjaannya Uya Kuya, reality show 'Jebakan Betmen' itu,' jawab gue sedapatnya.
"Acara itu kan udah lama punah," sangkal Nafa.
Gue lihat Nafa mendekati perempuan itu, kemudian berkata, "Bu, kalau Ibu mau minta sumbangan, minta saja baik-baik, gak usah mengaku yang bukan-bukan."
"Tidak! Ibu ingat sekali, dia Supri!"
Suasana hati gue benar-benar kacau! Puluhan pasang mata dan belasan kamera menyorot peristiwa memalukan gue ini. Perasaan gue campur aduk antara marah dan malu.
"Pak satpam! Kenapa diam saja?! Bawa keluar wanita gila itu!" teriak gue emosi.
Beberapa orang berseragam satpam mencoba mengusir Ibu secara sopan. Berhubung Ibu bersikeras tidak mau pergi, terpaksa satpam menggunakan cara lain yang sedikit tidak sopan. Dan gue gak kuat melihat perempuan itu meronta ingin lepas dari cekalan satpam.
"Lepaskan!" suara perempuan itu menggelegar. "Tidak perlu kalian seret saya bisa keluar sendiri! Tapi biarkan saya bicara sebentar dengan pemuda itu," sambungnya sambil menuding gue.
Gue makin gelisah.
"Nak... Kalau benar kamu memang bukan anak saya, maafkan saya sudah membuatmu malu di depan orang banyak, sudah mengganggu pekerjaanmu. Saya doakan semoga kamu sukses di sepanjang hidupmu," perempuan itu menghentikan kalimatnya, menghapus airmata dengan ujung kerudungnya.
"Tapi kalau ternyata kamu benar Supri, anak yang telah 9 bulan saya kandung, yang hidup dari air susu saya, saya...
Gue ngeri dan ketakutan! Gue merasa sebentar lagi Ibu akan mengutuk mall dan segala isinya ini menjadi batu akik! Gue gak mau jadi Malin Kundang 2! Mending kalau Ibu mengkutuk gue menjadi Brad Pitt. Hiks!
"Ibuuu... Maafkan anakmuu..." gue gak peduli apa pun lagi. Gue berlari memburu ke arah Ibu dan bersujud menciumi kakinya.
SELESAI
Cerpen Lainya: Segitiga Beda Sisi
Lima tahun lalu nasib gue masih belum pasti. Gue punya Ibu yang udah menjanda dan miskin. Pekerjaan Ibu tidak tetap, buruh nyuci, buruh tandur, buruh matun, dan apa pun pekerjaan ditawarkan asalkan halal, Ibu akan terima walau kadang dengan upah yang tak seberapa pantas dibanggakan. Kagumnya gue, beliau mampu nyekolahin gue hingga SMA. Tapi saat gue minta kuliah, Ibu angkat tangan sambil ngibarin kerudung putih! Ibu nyerah! Gak kuasa menghadapi biaya kuliah yang kian tak terjangkau itu.
Saat itu pekerjaan tetap gue sehari-hari adalah pengangguran, sementara keluyuran menjadi pekerjaan sampingan. Mau kerja bantu Ibu terjun ke sawah menjadi buruh tani misalnya, gue terlalu gengsi sama lembaran ijazah SMA gue yang di dalamnya terpampang nilai pas-pasan standar kelulusan itu. Padahal aslinya gue udah empet banget sama yang namanya KE-MIS-KI-NAN! Gue pengen kaya! Dan kalau bisa secepatnya kondisi itu terjadi pada kehidupan gue.
Suatu siang iseng-iseng berhadiah gue curhat pada sesepuh desa, dan dari beliau gue dapet beberapa tips praktis mencapai kekayaan.
"Anak muda, kaya dengan cepat itu sebenarnya mudah saja. Setidaknya ada tujuh cara. Pertama dapat warisan. Dua jadi penjahat besar. Ketiga korupsi. Empat menemukan harta karun. Lima mencari pesugihan. Yang keenam memenangkan undian dan terakhir menikahi anak orang kaya..."
Gobloknya, nasehat itu berhasil juga mempengaruhi pola pikir gue! Untuk yang pertama, jelas bohong banget kalau gue bisa kaya karena warisan. Malah gue ketar-ketir nantinya Ibu justru ninggalin warisan hutang.
Sementara menjadi penjahat besar apalagi berskala internasional, ini lebih mustahil. Walau tampang gue sangat mendukung, tapi jangankan jadi perampok bank, bajak laut, bandar narkoba atau pembunuh bayaran, sekedar nyolong mangga tetangga aja gue gak punya nyali! Sumpah! Nekat menjalankan tips kedua ini, bukannya kaya, malah dapat dipastikan gue langsung tertangkap aparat di aksi gue yang perdana!
Yang ketiga, kaya karena korupsi. Ini sih gue mau banget! Lha wong kalau ketahuan juga gak bakal digebukin massal kayak maling ayam di kampung-kampung! Justru waktu sidang para koruptor keparat itu bisa tetep senyum-senyum dan berdandan keren kayak aktor! Kalaupun di penjara paling cuma berapa tahun, udah gitu dapat remisi-remisi lagi. Mau banget gue, tapi kan untuk jadi koruptor harus jadi pejabat dulu?
Kalau pasal mendapat harta karun itu mungkin saja. Tapi di sini faktor keberuntungan paling berperan. Tapi gue sempet mencobanya. Saat jalan mata gue senantiasa jelalatan siapa tau nemu harta karun yang tercecer di jalan. Gue juga jajal gali-gali tanah belakang rumah, berharap menemukan harta karun yang terpendam kayak kisah Tom dan Huck dalam novel Petualangan Tom Sawyer. Jelas aja nihil!
Gue juga sempet kepikiran mencari pesugihan alias mencari kekayaan dengan bantuan syaiton nirojim, jadi kambing ngepet atau mengabdopsi tuyul! Tapi gue cancel niat itu, selain dosa besar, biasanya mahluk gaib yang membantu mengeruk harta meminta tumbal aneh-aneh!
Gue lebih naksir dua tips terakhir: menangin undian atau menikahi anak orang kaya. Gobloknya lagi gue bener-bener mempraktekan itu. Tiap nonton TV tetangga sebelah, gue giat mencatat produk iklan-iklan yang nyediain undian mobil atau duit jutaan. Mulai dari produk deterjen, permen karet, salep cap kuku kaki tiga, snack kripik jengkol hingga pupuk NPK. Tapi hadiah terbagus yang pernah gue menangin cuma sehelai kaos tipis gak berharga! Modal aja gak balik!
Lebih gobloknya, gue sampai tega melego baju celana gue demi ikutan pasang togel! Jika tembus yang empat angka, maka jadi jutawan muda bukan lagi isapan jempol. Tapi hingga baju celana tinggal yang gak laku, nomor yang gue pasang gak pernah tembus. Kemiskinan gue pun semakin sempurna!
Dalam hal mengawini anak orang kaya gue juga gatot alias gagal total. Dua cewek tertajir di kampung menolak pedekate gue secara sadis! Tapi wajar mereka nolak, gue miskin dan tampang gue... Huff! Sebenarnya bagian ini gak pengen gue ceritain, tapi mau gue tutupin sepintar apapun lama-lama pasti terkuak juga.
Jujur aja gue jelek! Sangat jelek malah. Kejelekan gue gak kayak siapa-siapa. Yah, mungkin lebih mirip sosok yang ada di uang kertas 500 jaman dulu. Begitulah!
*****
"Sesuatu yang didapat dengan mudah, akan mudah pula habis untuk hal-hal tidak berguna. Tapi kalau kita peroleh dengan kerja keras dan kucuran keringat, akan sangat bahagia kita menikmatinya. Seperti Ibu, yang begitu bahagia bisa menyekolahkanmu hingga SMA, walau dengan penuh perjuangan, Pri." Nasehat Ibu melihat gue patah arang gara-gara berbagai usaha gue menjadi 'orang kaya baru' gagal!
Betul juga, kerja keras adalah hal yang lebih masuk akal ketimbang nungguin warisan atau harta karun! Tapi dengan upah harian di dunia kerja persawahan yang cuma Rp. 25.000, yang belum tentu saban hari ada, sekeras apapun gue kerja sampai banting tulang putus otot, prediksi gue sampai 20 tahun mendatang gue akan tetap gini-gina aja!
Puncaknya, suatu petang gue minta restu sekalian minta duit pada Ibu. Gue ingin mengadu nasib ke Ibukota. Awalnya Ibu melarang, gue anak semanta wayang dan seumur hidup gue, beliau gak pernah berpisah jauh sama gue. Tapi akhirnya Ibu merestui setelah gue beri penjelasan over pede.
"Bu, saya pergi tak akan lama. Di Jakarta saya akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, setelah itu pulang. Membangun rumah ini, membuka warung dan ibu tidak perlu bekerja jadi kuli lagi."
Lalu, sambil menangis Ibu memeluk gue cukup lama, seolah kami gak akan bertemu lagi.
*****
Selepas isya gue tiba di Jakarta. Dan gue langsung menuju rumah Lek Kerno, adik Ibu yang udah lama menetap di Jakarta. Sementara gue mau numpang di sana dulu sampai dapat kerja.
Tapi ternyata sambutan paman gak enak banget! Padahal udah lama gak berjumpa, bukannya di elu-elukan: "Elu Supri, elu Supri, apa kabar? Lama gak ketemu makin jelek aja elu!"
Justru: "Bisa apa kamu?! Kamu tau gak sih di Jakarta ini susah cari kerja?!"
Kemudian paman buru-buru keluar. Gue kira ke warung beli makanan. Saat itu gue emang lagi lelah dan laper. Ongkos pas-pasan membuat gue gak bisa beli makanan sepanjang perjalanan.
"Itu dia, Pak, pendatang barunya. Dia harus diperiksa KTP, jangan-jangan terlibat jaringan teroris!"
Phuiih..! Ternyata Paman justru datang bareng beberapa orang berseragam kamtibmas. Razia KTP! Tentu saja gue takut karena gue belum punya KTP. Tapi sebelum petugas sukses menginterogasi, gue udah duluan kabur lari tunggang langgang kayak dikejar pasukan setan!
Saat itu gue merasa orang nomor satu paling nelangsa se-Asia, sendiri tanpa satupun peduli dengan cacing penghuni perut gue yang semakin hebat berdemonstrasi menuntut pemasukan barang sesuap nasi! Padahal di sekeliling gue, mobil-mobil mewah punya manusia-manusia beruang berseliweran hingga bikin macet! Mau ngemis gak pede, nyopet gak berani, malak apalagi.
Akhirnya gue terdampar di bawah naungan sebuah jembatan, tergeletak lelah dan kelaparan.
*****
"Woey! Bangun!"
Gue membuka mata, saat seseorang mengguncang-guncang tubuh gue dengan kakinya yang bersepatu. Di sekitar jembatan sudah banyak orang dengan berbagai peralatan canggih. Ah persetan! Badan gue masih lemah banget. Dan gue pun mejamin mata lagi.
"Bos! Ada orang gila gak mau pergi ini."
"Ya Allah, Din! Ini orang gila atau genderuwo kesiangan? Ancur banget!"
"Mungkin hantu yang telat balik ke asalnya, Bos!"
"Din, ambil makanan buat orang ini. Kasihan masih muda udah gila."
Walau dihina dina, semangat hidup gue spontan timbul mendengar kata-kata makanan.
"Sekarang adik tolong pergi, tempat ini mau dipakai syuting film," kata orang itu memberikan nasi kotak untuk gue.
"Baik, Pak. Terima kasih makanannya. Bapak baik sekali. Sekali lagi terima kasih," ucap gue terharu.
"Kamu bukan orang gila?" tanya orang itu dan gue jawab dengan menggelengkan kepala.
"Din, anak ini kalau dimandiin masih bisa dipake nih!" orang itu berkata pada orang yang satunya.
Gak tau deh itu pujian atau hinaan. Yang jelas itulah awal mula kesuksesan gue. Jembatan itu akan jadi lokasi syuting film komedi horror 'Si Bengis Jembatan Ambrol!' Dan sang sutradara begitu terpesona dengan kejelekan gue. Katanya muka gue gak perlu dimake-up sebegitu rupa sudah bisa memberikan efek hantu yang alami.
Akhirnya gue dilibatin penuh dalam produksi film itu. Gak tanggung-tanggung, gue langsung dapat peran utama sebagai si Hantu Bengis. Dan karena nama Supri kurang komersial, nama gue diubah menjadi Emen Sahara! Nama seleb gue!
Semenjak membintangi film itu, gue jadi terkenal dan kebanjiran job. Dari acara banyolan di TV sampai bintang iklan kaos kaki tapi yang terlihat hanya kaki. Benar kata orang, kalau pengen sukses di dunia entertainment, kalau gak ganteng sekalian, ya jelek sekalian yang gak ketulungan! Kalau tampang cuma pas-pasan gak janji deh!
Publik gak tahu kalau sebenarnya gue masih punya nyokap di daerah sana. Saat ini gue sendiri gak tahu apakah Ibu masih ada atau sudah tiada. Gue gak pernah memberi kabar apalagi uang. Gue sengaja mencampakan masa lalu gue. Gue benci suasana kampung dengan aroma kemiskinannya itu.
Berawal dari kejadian beberapa tahun lalu saat gue shopping di mall.
"Supri!"
Pertamanya gue langsung terkesiap ada orang yang tahu nama katrok gue, lalu dendam gue muncul saat gue tahu orang yang memanggil gue itu ternyata lek Kerno, paman gue yang dulu mengusir gue itu.
"Pri, Ibumu sakit memikirkan kamu."
"Heh! Lo siapa ya?" bentak gue tak peduli.
"Paman tahu kamu sekarang udah jadi bintang pilem, tapi Ibumu....
"Pak satpam!" teriak gue menyerobot omongan lek Kerno. "Amankan orang ini, dia mengganggu saya!"
Dan perintah orang terkenal kayak gue ini langsung dilaksanakan beberapa sekuriti plaza.
"Emen Sahara, benarkah yang dikatakan orang itu tadi?"
Gak nyangka, sejak tadi beberapa kamera menyorot gue. Inilah resiko orbek, kehidupannya selalu menarik perhatian dan sering dikuntit infotainment. Dan tindakan gue membentak lek Kerno tadi jelas akan melariskan tayangan atau tabloid gossip minggu ini.
"Ini pasti fitnahan orang yang gak suka dengan karir gue yang terus meroket," bela gue di depan teman-teman wartawan.
"Lalu sebenarnya ortu anda itu siapa? Kenapa selalu menutupi asal-usul anda?"
Gue menarik nafas panjang. "Kalian tau tsunami Aceh 2004? Bencana itu sangat dahyat! Kalian gak merasakan bagaimana sebuah kota hancur! Kedua orang tua gue hilang. Gue ke Jakarta karena di sana gue gak punya siapa-siapa, gue ingin mencari kehidupan baru. Lalu salah, kalo gue sekuat tenaga menyembunyikan masa lalu gue?" sebagai aktor, tentu saja gue katakan itu dengan mimik meyakinkan kayak sedang berakting dalam sinetron picisan.
Para wartawan percaya saja. Padahal Aceh itu kayak gimana gue juga belum tau.
*****
"Sayang, udah siap2 belom? Sudah mau jam 2 nih..."
Sebuah pesan whatsapp dari Nafa langsung membuyarkan lamunan panjang gue. Jam dua nanti gue harus terbang ke ibukota propinsi kelahiran gue, mengisi acara promo produk pakan burung di sebuah mall. Tadinya gue mau nolak, takut ketemu orang-orang sekampung gue, tapi gue udah terlanjur teken kontrak. Lagian setelah gue pikir ulang, jarak antara kampung gue dan ibukota propinsi jauhnya minta ampun. Sudah begitu harus melewati jalan berliku, terjal, berlobang, dan banyak bajing loncatnya. Jadi gak mungkin ada orang dari sana nonton acara gue.
*****
Atrium sebuah mall tempat gue dan Nafa show begitu membludak penontonnya. Meluber hingga ke bibir panggung neriakin nama gue. Banyak juga yang mengarahkan kamera HP mengabadikan kejelekan gue.
"Pri, Supri anakku, kemarilah Ibu sangat kangen kamu, nak..."
Tiba-tiba muncul sosok perempuan tua melangkah tertatih-tatih, berpakaian kumal dan dengan wajah yang amat lusuh. Kontras sekali dengan suasana mall yang serba mentereng ini.
"Siapa dia, Sayang?" bisik Nafa.
"Gak tau...." sahut gue mengangkat bahu, menyembunyikan perasaan gue yang mendadak luar biasa gelisah. Rasanya ada sesuatu yang menyentak-nyentak hebat dalam dada gue melihat wajah bersahaja perempuan itu. Ibu...
"Kenapa tidak pernah pulang, Pri?" wanita itu terisak sambil menatap gue tanpa berkedip.
Nafa memandang perempuan itu lekat-lekat, kemudian beralih menatap gue cukup lama. "Tapi wajahnya mirip banget sama kamu, Sayang?"
"Ah masa sih?" kata gue sedikit kelabakan. "Mungkin karena kemiripan itu dia memanfaatkan untuk ngaku-ngaku sebagai mama gue. Jangan-jangan ini kerjaannya Uya Kuya, reality show 'Jebakan Betmen' itu,' jawab gue sedapatnya.
"Acara itu kan udah lama punah," sangkal Nafa.
Gue lihat Nafa mendekati perempuan itu, kemudian berkata, "Bu, kalau Ibu mau minta sumbangan, minta saja baik-baik, gak usah mengaku yang bukan-bukan."
"Tidak! Ibu ingat sekali, dia Supri!"
Suasana hati gue benar-benar kacau! Puluhan pasang mata dan belasan kamera menyorot peristiwa memalukan gue ini. Perasaan gue campur aduk antara marah dan malu.
"Pak satpam! Kenapa diam saja?! Bawa keluar wanita gila itu!" teriak gue emosi.
Beberapa orang berseragam satpam mencoba mengusir Ibu secara sopan. Berhubung Ibu bersikeras tidak mau pergi, terpaksa satpam menggunakan cara lain yang sedikit tidak sopan. Dan gue gak kuat melihat perempuan itu meronta ingin lepas dari cekalan satpam.
"Lepaskan!" suara perempuan itu menggelegar. "Tidak perlu kalian seret saya bisa keluar sendiri! Tapi biarkan saya bicara sebentar dengan pemuda itu," sambungnya sambil menuding gue.
Gue makin gelisah.
"Nak... Kalau benar kamu memang bukan anak saya, maafkan saya sudah membuatmu malu di depan orang banyak, sudah mengganggu pekerjaanmu. Saya doakan semoga kamu sukses di sepanjang hidupmu," perempuan itu menghentikan kalimatnya, menghapus airmata dengan ujung kerudungnya.
"Tapi kalau ternyata kamu benar Supri, anak yang telah 9 bulan saya kandung, yang hidup dari air susu saya, saya...
Gue ngeri dan ketakutan! Gue merasa sebentar lagi Ibu akan mengutuk mall dan segala isinya ini menjadi batu akik! Gue gak mau jadi Malin Kundang 2! Mending kalau Ibu mengkutuk gue menjadi Brad Pitt. Hiks!
"Ibuuu... Maafkan anakmuu..." gue gak peduli apa pun lagi. Gue berlari memburu ke arah Ibu dan bersujud menciumi kakinya.
SELESAI
Cerpen Lainya: Segitiga Beda Sisi
hikhikhik... ternyata Mas Arizuna ini Aktor di Film Si Bengis Jembatan Ambrol yah, wah... kapan2 saya minta tanda tangannya kalo gitu mas xixixi....
BalasHapussaya baca cerita dari pertama sampai selesai sampai saya ulang lagi baca nya baru ketemu inti tulisannya yg berkaitan dgn judul postingannya mas, ternyata Mas Arizuma gak mau di kutuk jadi Malim Kundang yah tapi ingin menjadi Brad Pitt ... :D
terus akhirnya si supri gimana bang ?
BalasHapusBrad pitt itu apa si bang ?
BalasHapusendingnya gaa seru gan :(
BalasHapusterus si supri sama ibunya sekarang gimana ?
BalasHapusEndingnya jangan cuma cium kaki ibunya doang dong kudu mencuci kaki ibunya juga biar bersih. Kan biar nggak tanggung nyebutinnya kalau surga di telapak kaki ibu :D
BalasHapuskeren bang, critanya. good (Y)
BalasHapuskasian si eman, lupa daratan,
BalasHapus+Song+ "eman temen emaaan... wong ayu gak katok.an...."