Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pelajaran Hidup Dari Seorang Penjual Buah Duku

Dua bulan terakhir ini, di Pekanbaru lagi marak-maraknya pedagang buah-buahan spesialis buah duku. Di jalan-jalan tertentu, tiap beberapa meter ada saja stand orang jualan buah duku. Padahal aslinya Riau bukanlah penghasil buah duku. Banyaknya buah duku yang beredar di Pekanbaru ini adalah impor dari Palembang, Sumatera Selatan.

Singkat cerita, suatu siang beberapa waktu lalu, aku sedang melintasi jalan H.R Subrantas pulang dari menemani teman mencairkan uang BPJS Ketenagakerjaan, ketika kemudian aku melihat seorang ibu pedagang buah duku yang menjual dagangannya dengan harga yang tidak wajar. Yang mana pasaran buah duku pada hari itu adalah Rp 8.000 per kilogram. Tapi ibu itu berani memasang harga cuma Rp 5.000/kg.



Sebagai penganut 'berapapun harganya yang penting murah', melihat tulisan tersebut tentu saja aku berbelok menuju tempat jualannya. Kemudian setelah turun dari motor, dengan pede-nya aku langsung saja icip-icip buah duku dagangannya sampai habis lima kilo.

Dan rasanya normal kok. Manis enak dan segar. Gak ada bedanya dengan pedagang lain yang mematok harga 8.000/kg. Jadi biarpun murah ternyata gak murahan. Untuk itu, aku pun meminta dibungkuskan 2 kilo. Setelah acara pembukusan selesai dan diserahkan kepadaku, aku berikan kepadanya selembar Rp 10.000 sebagai pembayaran.

"Kurang, Dek," kata Ibu tersebut tidak sudi menerima uang dariku.

"Kurang bagaimana? Sekilo 5.000. Berari dua kilo 10.000 kan, Bu?" tanyaku gak ngerti. Kepalaku celingukan mencari kalkulator.

"Semuanya 16.000, Dek. Ini sekilonya 8.000. Kalo yang 5.000 yang itu tuh..." jelas si ibu sambil menuding tumpukan kecil buah duku yang ditempatkan agak tersembunyi. Kulihat cover buah duku ditumpukkan itu sudah hitam-hitam termakan usia dan mungkin lima menit lagi sudah busuk.

"Jadi papan harga 5.000/kg ini untuk yang buah duku yang itu?"

Ibu itu mengangguk sambil tersenyum. Aku juga manggut-manggut sambil tersenyum. Tersenyum pahit. Dengan ini berarti secara resmi aku sudah terkena jebakan sebuah teknik marketing yang jahat. Tapi apa lacur, aku udah kadung icip-icip dan sudah terlanjur dibungkusin. Akhirnya aku gak bisa berbuat apa-apa selain dengan tampang ikhlas gak ikhlas, nambahin lagi rp 6.000.

Entah siapa yang salah dalam transaksi waktu itu. Ibu itu tentu tidak mau disalahkan, tulisan 5.000/kg memang dia peruntukkan untuk buah duku yang sudah tidak segar, yang jangankan untuk membelinya, disedekahkan saja belum tentu ada kaum yang mau menerimanya. Salahku sendiri, kenapa mencicipi dan memesan buah duku yang masih bagus? Iya, cowok memang selalu salah!

Memang aku yang salah. Aku telah mengabaikan prinsip 'teliti sebelum membeli'. Mudah saja tergiur dengan promosi 5000/kg. Seenaknya saja icip-icip, yang seandainya tidak jadi membeli pasti akan membuat malu keluarga.

Walaupun sedikit kesal, tapi secara tidak langsung penjual buah duku itu sudah memberi pelajaran kecil buat aku, bahwa ke depannya aku harus lebih teliti dan hati-hati sebelum bertindak. Jaman sekarang, dengan semakin sengitnya persaingan, banyak yang tidak malu-malu menerapkan tehnik PHP demi mencapai tujuannya. Mengemas sesuatu menjadi tampak menarik yang padahal tidak seindah kenyataannya.

Termasuk mungkin dalam mencari pasangan hidup. Jangan cuma karena melihat penampilannya yang menawan, langsung tergoda dan mendekat. Karena bisa saja tampilan menggiurkan itu hanya jebakan ataupun kedok untuk menyamarkan segala keburukkan. Jangan ceroboh, apalagi sampai icip-icip tanpa mau mengenal lebih jauh dulu. Dan siap-siap saja dicap cemen, apabila sudah terlanjur icip-icip, tapi tidak jadi membeli hanya karena baru menyadari kejelekan-kejelekannya.

Seperti rasa buah duku itu sendiri. Jika tidak hati-hati memakannya, tergigit bijinya, maka bukan rasa manis yang didapat, melainkan rasa yang amat pahit. Pait!

4 komentar untuk "Pelajaran Hidup Dari Seorang Penjual Buah Duku"

  1. Tapi gue lebih setuju penampilan dan isi satu paket yang menari, karena jika kesan pertama saja sudah tidak nyaman mana mungkin akan berlanjut ke kesan berikutnya untuk mengenal isinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya juga memang. Tapi seperti yang aku tulis di atas, teliti sebelum membeli. 'Mengenal isinya' yang kamu katakan itu kan juga termasuk bagian dari 'teliti sebelum membeli'. :)

      Hapus
    2. yg sakitnya bg beli yg mahal tapi diserok dari belakang yg banyak busuk, yg bagus dia letak depan, sakitnya tuh di sini..

      Hapus