Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ketidakbanggaan Saya Akan Indonesia Terselamatkan Lewat Jalan-jalan


Sebagai orang Indonesia tulen, sudah seharusnya saya bangga sepenuhnya dengan tanah air ini. Tapi terkadang hati ini tidak bisa mengelak untuk tidak jengkel melihat berbagai keruwetan dan ketidakadilan yang kerap terjadi di negeri ini.

Korupsi masih tinggi tapi pernah badan pembrantas korupsi justru berusaha dilumpuhkan, sepakbola nasional sulit berprestasi tapi pengurusnya malah ribut sendiri-sendiri, ribut rebutan kekuasaan yang selalu ada-ada saja. Dan berbagai problem lain yang terkadang memunculkan pikiran: "Apa sih yang bisa dibanggakan dari Indonesia?"

Untungnya Indonesia memiliki banyak sekali alam yang indah, tempat-tempat bersejarah, beragam tradisi, budaya dan kesenian yang mengagumkan, sehingga ketidakbanggaan saya akan Indonesia tidak sampai terkikis habis. Dengan mengunjungi tempat-tempat itu, kecintaan saya pada tanah air kembali menguat dan timbul rasa bangga telah terlahir sebagai bangsa Indonesia.

Misalnya ketika saya jalan-jalan keliling sebagian Aceh, dari Jeuram, Takengon, Lhokseumawe, Sigli, Banda Aceh dan berakhir di Meulabouh. Saya menjumpai desa Beutong, sebuah desa yang asri dan sejuk yang berada di pedalaman hutan Bukit Barisan. Menyaksikan danau Laut Tawar dan Dataran Tinggi Gayo di Aceh Tengah. Berkunjung ke Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Nongkrong di jalan Geurute, jalan yang menghubungkan Banda Aceh - Meulaboh ini dibangun di dinding-dinding Bukit Barisan dan tepat di bawahnya terhampar lautan luas Samudera Hindia. Atau juga bersantai di pantai-pantai Meulaboh, melihat senja sambil menikmati kopi gelas terbalik.

Senja di Pantai Meulaboh

Kalau di Riau, saya beberapa kali menonton tradisi Pacu Jalur (Balap Sampan) di Taluk Kuantan yang super meriah. Saya juga pernah jalan-jalan ke Teluk Meranti. Menyaksikan ombak Bono yang sangat unik, karena ombak setinggi 4 - 6 meter ini bukan terjadi di laut, melain di sebuah sungai yang bernama Sungai Kampar. Tempat yang cocok sekali untuk arena berselancar, bagi yang berani.

Semua kegiatan jalan-jalan itu, menghasilkan rasa bangga telah terlahir di Indonesia. Negeri yang walaupun kemakmurannya belum merata, tapi memiliki kekayaan wisata hampir di setiap daerahnya.

Nasionalisme dalam diri saya begitu terasa ketika saya jalan-jalan menelusuri jejak peninggalan penjajah Jepang di propinsi Riau. Banyak orang Indonesia bahkan mungkin masyarakat Riau sendiri yang tidak tahu bahwa antara tahun 1943 - 1945 di Riau terjadi peristiwa yang amat memilukan yang dikenal dengan The Death Railway. Dimana pada saat itu militer Jepang mengerahkan beribu-ribu romusha untuk pembangunan rel kereta api sepanjang 220 Km dari Muaro Sijunjung hingga ke Pekanbaru.

Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Monumen Kereta Api di jalan Kaharudin Nasution, Pekanbaru. Monumen yang diresmikan pada 17 Agustus 1985 ini, pada dindingnya terdapat lukisan yang menggambarkan betapa kejamnya tentara Nippon dalam mengawal pembangunan rel. Sedangkan di depan monumen, ada belasan makam para Pahlawan Pekerja tanpa identitas. Mereka adalah korban romusha yang tidak diketahui namanya, siapa keluarganya, umurnya berapa dan berasal darimana.


Makam Para Pahlawan Kerja

Belasan makam itu hanya bagian yang sangat sangat kecil dari total korban The Death Railway. Menurut sejarah, selama 3 tahun pembangunan rel kereta api, ada ratusan ribu jiwa yang meninggal dunia karena kelelahan, sakit tanpa ada yang mengobati, tidak sanggup menahan siksaan tentara Jepang, atau juga ditembak karena malas bekerja dan mencoba melarikan diri.

Lukisan Para Romusha

Sekitar 2 jam di Monumen Kereta Api, penelusuran saya berlanjut ke desa Lipat Kain Selatan, yang berjarak kurang lebih 80 Km dari kota Pekanbaru. Di sana juga terdapat salah satu bagian gerbong kereta api peninggalan Jepang. Tapi jika gerbong yang di Monumen Kereta Api terjaga dengan baik, berbeda sekali dengan nasib gerbong yang berada di desa Lipat Kain.

Gerbong Kereta Api Peninggalan Jepang

Lokasi gerbongnya di perkebunan karet milik warga, jauh dari pemukiman penduduk. Tidak ada yang menjaga apalagi merawat. Alam di sekitar gerbong masih berhutan, tanahnya berbukit-bukit dan juga ada dua buah sungai. Dengan kondisi seperti itu, muncul perasaan haru ketika saya coba membayangkan bagaimana beratnya dulu pekerjaan para romusha. Membabat hutan rimba, meratakan bukit, menguruk jurang, membuat jembatan, menyusun rel, yang semua itu dikerjakan secara manual tanpa bantuan alat berat.

Mereka tidak diberi makan yang layak apalagi diberi gaji. Satu-satunya yang membuat mereka giat bekerja adalah todongan senjata militer Jepang. Mereka bekerja dengan kucuran keringat, air mata bahkan darah.


Benda Bersejarah Yang Tak Terawat

Perasaan haru saya semakin menjadi, mengetahui fakta bahwa dari 220 Km besi rel yang pernah dipasang, saat ini tidak menyisakan satu potong pun. Juga dari 9 unit gerbong yang pernah ada, tinggal menyisakan 2 kepala gerbongnya saja. Yang satu berada di monumen Kereta Api di kota Pekanbaru tempat pertama yang saya kunjungi, dan satunya di perkebunan karet warga di desa Lipat Kain Selatan ini. Sementara bagian yang lainnya telah hilang. Benda bersejarah yang seharusnya dilestarikan itu justru telah habis dijarah orang-orang tak bertanggung jawab, dan dijual kiloan sebagai barang rongsokan!

Ini bukan untuk pertama kalinya saya mengunjungi gerbong Jepang di Lipat Kain. Sudah berkali-kali saya ke sana dan tidak pernah bosan. Sekitar 2 Km dari gerbong juga terdapat Tugu Khatulistiwa, tugu yang menandakan bahwa desa Lipat Kain Selatan tepat dilintasi garis Khatulistiwa. Sementara tidak jauh dari gerbong ada hamparan rumput yang luas, dan jika Sungai Kampar sedang surut, di tengah sungai muncul pulau kecil berpasir dan berhutan mini.


Berkunjung ke Lokomotif peninggalan Jepang, membuat saya amat bersyukur karena terlahir di saat bangsa Indonesia sudah merdeka. Tak hanya kesana, kemana pun wira wiri di setiap tempat wisata di sepanjang negeri ini, bagi saya merupakan salah satu kegiatan yang bisa meningkatkan rasa syukur kepada Tuhan, sekaligus menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air. Bukan hanya sekedar senang-senang, foto-foto lalu dipamer ke sosial media.

Bagaimana menurut teman-teman?

12 komentar untuk "Ketidakbanggaan Saya Akan Indonesia Terselamatkan Lewat Jalan-jalan"

  1. Nah, makanya itu piknik itu penting ya mas hehehehehehe, Indonesia punya tempat bersejarah dan alam yang indah yang patut dibanggakan ya mas.. yah saya juga kecewa mas dengan sepakbola Indonesia, semoga aja ke depan timnas kita bisa lolos ke Piala Dunia dan pemainnya ada yang main di Liga Italia atau Liga Inggris.. hehehehehe :)

    BalasHapus
  2. Kalau sering jalan-jalan memang bikin jatuh cinta sama Indonesia :)

    BalasHapus
  3. pantainya keren banget, cuma posisi orangnya salah, jadi ga bisa liat sunset deh wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. YUK JALAN-JALAN KEPANTAI AJA KALAU GITU MAS, HEHEHE

      Hapus
  4. BANYAK SEKALI KEINDAHAN DAN PENINGGALAN SEJARAH INDONESIA YANG WAJIB KITA BANGGAKAN MAS, DAN TENTUNYA HARUS DI JAGA DAN DILESTARIKAN YA

    BalasHapus
  5. OYA PERTAMAX NIH SAYA KEMARI, SALAM KENAL YA MAS, SALAM BLOGGER, SUKSES SELALU

    BalasHapus
  6. Wah tu keretanya kalau buat hunting foto mantap banget mas :D

    BalasHapus
  7. sayang sekali ya kurang terawat

    BalasHapus
  8. indonesia memang kaya akan keindahan alamnya, banyak pantai indah yang belum dijamak orang, tapi kalo pantainya sudah banyak pengunjung terkadang tak terurus, kotor dan keindahannya seperti lenyap..

    BalasHapus
  9. miris sekali peninggalan sejarah yang berada di kebun karet itu.
    lebih baik kilo aja lah daripada tidak diurus seperti itu mah mas :)

    BalasHapus
  10. sebenernya indonesia penuh dengan keindahan tempat wisata yamas.
    sayang banyak yang tidak terurus

    BalasHapus
  11. banyak peninggalan zaman dulu kurang terawat

    BalasHapus